Libur Ramadan: Solusi atau Masalah Baru?

Table of Contents

Wacana meliburkan sekolah selama Ramadan 2025 memang perlu dikaji lebih dalam sebelum diterapkan. Dari sudut pandang pendidikan dan dinamika sosial, kebijakan ini berpotensi menimbulkan implikasi yang lebih kompleks daripada sekadar memberikan waktu bagi siswa untuk beribadah. 

Dalam konteks era digital, tantangan yang muncul tidak hanya berkaitan dengan efektivitas pembelajaran, tetapi juga pola interaksi anak dalam lingkungan keluarga dan sosial mereka.

Pertama, libur panjang di tengah dominasi teknologi saat ini dapat menjadi bumerang. Alih-alih meningkatkan kualitas ibadah, anak-anak justru berpotensi menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadget.

Fenomena ini tidak bisa diremehkan, mengingat penetrasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari telah menggeser pola konsumsi informasi dan hiburan.

Tanpa aktivitas terstruktur, orang tua akan semakin kerepotan mengarahkan anak agar tidak larut dalam distraksi digital. Bukannya lebih fokus pada ibadah, justru ada potensi anak-anak semakin tenggelam dalam konten yang kurang produktif.

Kedua, kebijakan ini berpotensi mengganggu kontinuitas pembelajaran. Kalender pendidikan yang sudah tersusun dengan berbagai tahapan evaluasi tentu akan terdampak. 

Misalkan di tingkat SLTA, Penilaian akhir semester bagi kelas XII serta penilaian sumatif tengah semester untuk kelas X dan XI berlangsung di bulan maret, dan jika libur sebulan penuh diterapkan, siswa akan dihadapkan pada pemadatan materi yang berisiko tidak efektif. 

Dalam kondisi normal pun, siswa membutuhkan waktu cukup untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan. Jika libur ini diterapkan tanpa mitigasi yang jelas, kita perlu bertanya: Apakah siswa siap menerima pembelajaran dalam format yang lebih ringkas? Apakah guru tidak akan kerepotan mengejar target kurikulum dalam kondisi yang kurang ideal? 

Efektivitas pembelajaran bukan sekadar soal waktu, tetapi juga kualitas asimilasi materi oleh siswa.

Ketiga, meskipun siswa libur, guru tetap harus bekerja. Pengalaman menunjukkan bahwa meskipun siswa libur, guru sering kali masih harus mengurus berbagai keperluan administratif maupun kegiatan pendampingan. 

Guru mata pelajaran agama hampir pasti akan diminta untuk menyusun program Ramadan yang melibatkan siswa, sementara guru mata pelajaran umum juga terdampak oleh perubahan jadwal. 

Jika benar-benar ingin diterapkan, perlu ada regulasi yang memastikan bahwa libur ini bukan hanya "libur untuk siswa" tetapi juga mempertimbangkan beban kerja guru agar tidak menjadi keputusan yang kontraproduktif.

Secara keseluruhan, sebelum kebijakan ini dijalankan, perlu ada kajian mendalam yang mempertimbangkan implikasi praktisnya bagi siswa, guru, dan orang tua. 

Pendidikan bukan hanya soal mengikuti tradisi, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap mengedepankan efektivitas dan keseimbangan dalam dunia akademik serta kehidupan sosial siswa. (Judin).

Post a Comment